Ahmad Heri Firdaus Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment dari INDEF mengatakan, dunia industri menghadapi tantangan baru untuk bertahan sesudah lolos dari pandemi Covid-19.
Menurutnya,kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta imbas dari konflik Rusia-Ukraina terasa dampaknya di sektor industri.
Maka dari itu, Pemerintah sepatutnya membantu dengan cara memberikan stimulus, fasilitas mau pun insentif, supaya industri tetap berjalan, bisa membuka lapangan kerja dan mendorong peningkatan investasi.
“Kenaikan harga energi mengerek biaya transportasi. BBM naik, inflasi tinggi, suku bunga acuan meningkat, artinya bunga kredit juga lebih tinggi. Sehingga, mengancam ekspansi yang tadinya siap ekspansi menjadi tertunda,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/9/2022).
Kenaikan biaya transportasi dan juga sebagian bahan baku, lanjutnya, makin memperberat ongkos produksi. Sehingga, dikhawatirkan terjadi penyesuaian berupa pengurangan tenaga kerja.
“Kenaikan biaya produksi bisa menyebabkan tertundanya ekspansi, atau bahkan penyesuaian input produksi, dikhawatirkan mereka mengurangi tenaga kerja,” imbuhnya.
Untuk mengantisipasinya, Pemerintah bisa membantu industri dengan cara memberikan stimulus mau pun insentif.
“Agar industri tetap berjalan, perlu difasilitasi dan dibantu industri yang sedang mengalami tekanan semisal dalam biaya logistik, fasilitas ekspor Ekspor kan kapal mahal, diberikan diskon tarif listrik untuk jam tertentu, atau apa pun yang bisa berdampak langsung terhadap industri,” paparnya.
Sejauh ini, kata Heri, Pemerintah hanya memberikan bantuan pada masyarakat terdampak sebagai kompensasi atas kenaikan BBM, tapi belum pada sektor industri.
Ahmad Heri melanjutkan, keanggotaan Indonesia dalam sejumlah forum seperti G20, ASEAN maupun lainnya diharapkan bisa memperkuat kerja sama yang menguntungkan.
“Kerja sama untuk aliran barang dan jasa yang lebih lancar, perlu dilakukan pertemuan dalam forum seperti kemarin itu. Negosiasi untuk menurunkan tarif non tarif, dan kerja sama investasi perdagangan yang menguntungkan saya rasa banyak,” tambahnya.
Tapi, sambung Ahmad Heri, ada tantangan baru, di mana sejumlah negara melakukan restriksi ekspor untuk menjaga stok mereka.
“Harusnya, dalam forum seperti G20 ini bisa dibicarakan lebih jauh tentang global supply chain, dan diyakinkan bisa menjalin kerja:sama tanpa restriksi,” ucapnya lagi.
Sebelumnya, Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyampaikan kemampuan industri menjadi unsur utama bagi ketahanan ekonomi sebuah negara di masa pandemi.
Industri akan mendorong penciptaan lapangan kerja, dan memerlukan sektor perdagangan dalam distribusi, serta mendorong peningkatan investasi.
“Oleh karena itu, G20 harus mendorong upaya peningkatan di sektor industri, perdagangan dan untuk lebih menarik investasi. Itu merupakan seruan bagi negara-negara G20 untuk bekerja sama lebih baik lagi dalam memberikan dukungan yang diperlukan guna mendorong aspek-aspek industri dan perdagangan yang mengadopsi teknologi, khususnya di negara-negara berkembang,” katanya, Kamis (22/9/2022).
Sementara itu, Piter Abdullah Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia mengungkapkan, permasalahan ekonomi saat ini terjadi dalam tingkatan global, bukan di domestik.
“Yang jelas, Indonesia memang berhadapan dengan global. Sekarang itu tantangannya ada di global, bukan di domestik,” katanya
Menurut Piter, persoalan global berdampak pada ekonomi Indonesia seperti pandemi Covid-19.
Lalu, gejolak geopolitik perang Rusia-Ukraina menjadi pemicu disrupsi mata rantai pasokan global. Sehingga, terjadi permasalahan krisis pangan dan energi yang kemudian memicu lonjakan inflasi di banyak negara.
“Jadi, ini karena memang permasalahan ada di global yang kemudian berdampak ke masing-masing negara, maka solusinya memang harus di global,” tegasnya.
Piter melanjutkan, negara-negara di dunia patut bergandengan tangan untuk mencari solusi atas masalah tersebut. Masyarakat global perlu menyelesaikan akar masalah yakni ketegangan goepolitik yang melibatkan Rusia dan Ukraina.
“Solusinya, bagaimana negara-negara itu melakukan kerja sama, kesepakatan secara multilateral untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi. Utamanya adalah sumber masalah diselesaikan. Sumber masalahnya adalah ketegangan geopolitik. Kemudian, hambatan pasokan harus diselesaikan. Kalau tidak, akan terus berkelanjutan,” timpalnya.
Senada, Yose Rizal Damuri Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut, kondisi perekonomian Indonesia tidak akan terlepas dari kondisi perekonomian global.
Sehingga, yang terjadi di tingkat global akan berdampak pada ekonomi nasional, baik langsung atau tidak langsung.
“Ini sudah dirasakan selama ini, pandemi 2,5 tahun, sekarang ada masalah geopolitik yang disertai dengan permasalahan supply chain dan inflasi, serta kebijakan-kebijakan makro ekonomi yang ketat,” terangnya.
Yose menilai kerja sama ekonomi mutlak diperlukan untuk membuat kondisi perekonomian global menjadi lebih baik dan lebih kondusif terhadap pemulihan ekonomi di seluruh negara.
“Satu-satunya cara adalah kerja sama ekonomi. Kalau tidak ada kerja sama, dan masing-masing jalan sendiri, malah akan merugikan orang atau negara lain,” pungkasnya.(rid)